Bangunan Ekologi
Ekologi adalah
ilmu yang mempelajari
interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan yang
lainnya. Berasal dari kata Yunani oikos ("habitat")
dan logos ("ilmu").
Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk
hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Istilah ekologi
pertama kali dikemukakan oleh Ernst
Haeckel (1834 - 1914). Dalam ekologi, makhluk hidup dipelajari
sebagai kesatuan atau sistem dengan lingkungannya.
Pembahasan ekologi
tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen
penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik.
Faktor abiotik antara lain suhu, air, kelembaban, cahaya,
dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari
manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan
tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan
ekosistem yang saling memengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan
kesatuan.
Adapun
prinsip-prinsip ekologi tersebut antara lain :
a.
Fluctuation
Prinsip fluktuasi menyatakan bahwa bangunan
didesain dan dirasakan sebagai tempat membedakan budaya dan hubungan proses
alami. Bangunan seharusnya mencerminkan hubungan proses alami yang terjadi di
lokasi dan lebih dari pada itu membiarkan suatu proses dianggap sebagai proses
dan bukan sebagai penyajian dari proses, lebihnya lagi akan berhasil dalam
menghubungkan orang-orang dengan kenyataan pada lokasi tersebut.
b. Stratification
Prinsip stratifikasi menyatakan bahwa
organisasi bangunan seharusnya muncul keluar dari interaksi perbedaan
bagian-bagian dan tingkat-tingkat. Semacam organisasi yang membiarkan
kompleksitas untuk diatur secara terpadu.
c. Interdependence (saling ketergantungan)
Menyatakan bahwa hubungan antara bangunan
dengan bagiannya adalah hubungan timbal balik. Peninjau (perancang dan pemakai)
seperti halnya lokasi tidak dapat dipisahkan dari bagian bangunan, saling
ketergantungan antara bangunan dan bagian-bagiannya berkelanjutan sepanjang
umur bangunan.
Pola
Perencanaan Eko-Arsitektur selalu memanfaatkan alam sebagai berikut :
- Dinding, atap sebuah gedung sesuai dengan tugasnya, harus melidungi sinar panas, angin dan hujan.
- Intensitas energi baik yang terkandung dalam bahan bangunan yang digunakan saat pembangunan harus seminal mungkin.
- Bangunan sedapat mungkin diarahkan menurut orientasi Timur-Barat dengan bagian Utara-Selatan menerima cahaya alam tanpa kesilauan
- Dinding suatu bangunan harus dapat memberi perlindungan terhadap panas. Daya serap panas dan tebalnya dinding sesuai dengan kebutuhan iklim/ suhu ruang di dalamnya. Bangunan yang memperhatikan penyegaran udara secara alami bisa menghemat banyak energi.
Cara
membangun yang menghemat energi dan bahan baku :
1. Perhatian
pada iklim setempat penggunaan tumbuhan dan air sebagai pengatur iklim pembangunan
yang menghemat energi orientasi terhadap sinar matahari dan angin penyesuain
pada perubahan suhu siang-malam.
2. Subsitusi
sumber energi yang tidak dapat diperbaharui Meminimalisasi penggunaan energi
untuk alat pendingin Menghemat sumber energi yang tidak dapat diperbaharui
Optimalisasi penggunaan sumber energi yang tidak dapat diperbaharui saha
memajukan penggunaan energi alternatif Penggunaan energi surya.
3.
Penggunaan bahan bangunan yang dapat dibudidayakan dan yang menghemat energi
Memilih bahan bahan bangunan menurut penggunaan energi Menghemat sumber bahan
mentah yang tidak dapat diperbaharui Minimalisasi penggunaan sumber bahan yang
tidak dapat diperbaharui Upaya memajukan penggunaan energi alternatif
Penggunaan kembali sisa-sisa bangunan (limbah)Optimalisasi bahan bangunan yang
dapat dibudidayakan.
4.
Pembentukan peredaran yang utuh di antara peneyediaan dan pembuangan bahan
bangunan, energi, dan air Gas kotor, air limbah, sampah, dihindari sejauh
mungkin Menghemat sumberdaya alam (Udara, air, dan tanah) Perhatian pada bahan
mentah dan sampah yang tercemar erhatian pada peredaran air bersih dan limbah
air.
5.
Penggunaan teknologi tepat guna yang manusiawi Memanfaatkan/ mengguanakan bahan
bangunan bekas pakai. Menghemat hasil produk bahan bangunan.Mudah dirawat dan
dipelihara Produksi yang sesuai dengan pertukangan hipotesis Gaia.
Yang paling
berpengaruh kepada dasar perencanaan arsitektur masa depan adalah Hipotesis
Gaia sebagai berikut : Kehidupan bukan menciptakan lingkungan menurut kebutuhannya,
dan kehidupan bukan faktor penentu, melainkan sistem keseluruhan termasuk
lingkungan dan kehidupan.
Bangunan Vernakular
Indonesia merupakan komplek
kepulauan terbesar didunia yang memiliki beragam sistem budaya etnik dan
memiliki wilayah budaya dengan bermacam-macam manifestasi kebudayaan. Warga
masing-masing budaya etnik menyerap sebagian besar bagian-bagian budaya itu sehingga membentuk kepribadian atau “jati
diri”.
Masyarakat etnik di Indonesia
terdapat lebih dari 17 suku. Inti sistem budaya etnik adalah suatu sistem
kepercayaan keagamaan. Sistem nilai keduniawian yang perlu dilakukan oleh
anggota masyarakat etnik dinyatakan dalam sistem sistem normatif. Didalam sistem normatif ditetapkan perilaku
perilaku aggotanya. Setiap anggota masyarakat etnik diharapkan bertindak sesuai
dengan norma-norma Adatnya. Norma-norma dan
adat selanjutnya akan berpengaruh terhadap citra lingkungan dan arsitekturnya.
Norma, Adat, Iklim, Budaya, potensi
bahan setempat akan memberikan kondisi pada pengembangan Arsitektur Alam,
Arsitektur Rakyat. Arsitektur Rakyat tersebut secara langsung telah mendapatkan
“pengakuan” masyarakatnya karena tumbuh dan melewati perjalanan pengalaman “trial
and error“ yang panjang . Arsitektur Rakyat yang dirancang oleh dan untuk
masyarakat yang bersangkutan tersebut, mengandung muatan dan nilai jati diri
yang mampu menampilkan rona asli, berbeda-beda dan bervariasi. Arsitektur
ini sangat dekat dengan budaya lokal yang umumnya tumbuh dari masyarakat kecil.
Dalam perkembangan kemudian masyarakat
kecil tersebut bergabung dengan masyarakat yang lebih besar, tetapi menuntut
hadirnya arsitektur yang mampu memenuhi tuntutan kebutuhan yang telah meningkat
dan tidak mampu terjawab oleh Arsitektur Rakyat. Guna menjawab tuntutan
tersebut, Arsitektur Rakyat dikembangkan oleh masyarakatnya melalui sentuhan
arsitek dan akhirnya lahir Arsitektur Vernakular.
Arsitektur vernakular adalah arsitektur yang terbentuk dari
proses yang berangsur lama dan berulang-ulang sesuai dengan perilaku,
kebiasaan, dan kebudayaan di tempat asalnya. Vernakular, berasal dari
vernacullus yang berarti lokal, pribumi. Pembentukan arsitektur
berangsur dengan sangat lama sehingga sikap bentuknya akan mengakar. Latar
belakang indonesia yang amat luas dan memiliki banyak pulau menyebabkan
perbedaan budaya yang cukup banyak dan arsitektur merupakan salah satu parameter
kebudayaan yang ada di indonesia karena biasanya arsitektur terkait dengan
sistem sosial, keluarga, sampai ritual keagamaan.
Arsitektur dibangun untuk mampu menjawab
kebutuhan Manusia dan mengangkat derajat hidupnya menjadi lebih baik, sehingga
tidak dapat dilepaskan dari perkembangan Kebudayaan. Arsitektur itu sendiri
adalah buah daripada Budaya.
Kebudayaan pada hakekatnya adalah manifestasi
kepribadian masyarakat yang tercermin antara lain pada wadah aktivitas yang berwujud
Arsitektur. Kebudayaan Indonesia sendiri bukan sesuatu yang padu dan bulat, tetapi
tersusun dari berbagai rona elemen Budaya yang bervariasi, yang satu berbeda
dengan yang lain karena perjalanan sejarahnya yang berbeda. Perjalanan sejarah
Indonesia yang panjang membentuk sistem kebudayaan yang berlapis lapis.
Empat lapis Kebudayaan Indonesia terdiri atas :
- Kebudayaan Indonesia aseli
- Kebudayaan India
- Kebudayaan Arab-Islam dan
- Kebudayaan modern Eropa-Amerika.
Konfigurasi lapis kebudayaan yang
berbeda-beda tersebut bertaut dalam kesatuan kebudayaan Indonesia dengan
berbagai penjelmaannya yang sering disebut dengan Budaya Nusantara.
Faktor yang mempengaruhi banyak arsitek
untuk mengadopsi vernakularisme adalah keinginan untuk menciptakan lagi
hubungan dengan karakter dasar hakekat bangunan, pewarisan kebudayaan dan Jati
Diri.
Jati diri atau identitas merupakan
“jejak” yang ditinggalkan oleh peradaban , bergerak sejalan dengan sejarah, dan
merupakan sebuah “proses” yang tidak terjadi dengan sendirinya tetapi bertolak
dari logika yang diikuti oleh masyarakatnya. Jati diri lahir dan tumbuh dari
pengertian terhadap diri sendiri dan masyarakat lingkungannya.
Arsitektur Vernakular dan jati diri
bersama tumbuh dari aspirasi rakyatnya dan mengacu pada masalah masalah yang
nyata ,tentang lingkungan, iklim dan aspirasi. Dalam hal ini Iklim merupakan
faktor yang penting, karena iklim membantu menentukan “bentuk”, baik secara langsung
maupun dalam aspek budaya dan ritual.
Arsitektur Vernakular mengandung kesepakatan
yang menanggapi secara positif terhadap Iklim disamping terhadap Ruang-Waktu
dan Budaya. Arsitektur ini juga memberikan prinsip dan simbol masa lalu untuk dapat
ditransformasikan kedalam bentuk bentuk yang akan bermanfaat bagi perubahan
perubahan tatanan sosial masa kini. Kesempatan ini memberi peluang bagi arsitek
untuk mencermati potensi positip masa lalu yang diwakili oleh arsitektur
Vernakular tersebut khususnya dalam menyikapi modernisasi. Dengan demikian
morfologi Arsitektur Indonesia tidak menyerah pasrah terseret arus globalisasi-modernisasi
dengan semena-mena. Penggarapan yang inovatif telah banyak memberikan sumbangan
alternatip terhadap gerakan modernisasi arsitektur di Indonesia menuju tujuan
identitas Nasional yang modern.
Pada hakekatnya gaya-gaya import
dicoba untuk dihindarkan atau tidak semena-mena ditiru, tetapi perlu disaring
dan dipertimbangkan terhadap elemen elemen, jiwa, gaya arsitektur lingkungan
setempat. Proses integrasi ini memerlukan pengenalan yang cukup, karena hal ini
sangat mendasar khususnya bagi kontinuitas dan usaha meningkatkan kembali
gairah yang akan memperkaya variasi inovasi arsitekturnya.
Arsitek Indonesia perlu berusaha
mengurangi secara konseptual tiruan tiruan yang lemah dari gaya Internasional
dan membantu memperkuat usaha menuju Arsitektur Indonesia Modern yang masih
memiliki identitas Nasional.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar