Sistem
Perencanaan Tata Ruang di Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang nomor 26/2007 tentang
Penataan Ruang, maka perencanaan tata ruang Indonesia memiliki tiga
tingkatan rencana tata ruang – nasional, provinsi dan kabupaten. Rencana tata
ruang yang dibuat oleh tiga tingkatan pemerintah Indonesia seharusnya sesuai
dengan satu sama lain. Pemerintah pusat mengembangkan rencana nasional tata
ruang (RTRWN) pertama, yang mendeliniasi daerah lindung untuk kawasan lindung
dan budidaya untuk pembangunan. Rencana tata ruang nasional dirancang untuk
jangka panjang, untuk jangka waktu 25 – 50 tahun.
Rencana tata ruang provinsi (RTRWP) kemudian
dikembangkan berdasarkan rencana tata ruang nasional. Rencana tata ruang
provinsi dikembangkan untuk jangka waktu 15 tahun. Dari rencana ini rencana
tata ruang kabupaten strategis regional (RTRWK) kemudian dikembangkan;
dirancang untuk menjadi rencana jangka pendek untuk jangka waktu 5 tahun.
Rencana tata ruang semua tingkatan pemerintah direvisi setiap lima tahun.
Rencana tata ruang biasanya direvisi untuk menyesuaikan fungsi daerah sesuai
dengan kondisi fisiknya.
Rencana tata ruang biasanya direvisi untuk
menyesuaikan fungsi daerah sesuai dengan kondisi fisiknya. Struktur sistem
perencanaan tata ruang yang mengalokasikan sejumlah besar otoritas pengambilan
keputusan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten untuk melaksanakan fungsi
perencanaan tata ruang di daerahnya, termasuk otorisasi tingkat kabupaten untuk
mengalokasikan izin untuk kegiatan pemanfaatan lahan.
Selain itu, seperti dalam amanat Undang-Undang nomor
32 tahun 2009, maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) berfungsi untuk
memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan yang terintegrasi ke dalam
setiap rencana tata ruang pemerintah. Dari KLHS yang belum dilakukan untuk
rencana tata ruang, maka tidak boleh ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri. Secara prinsip sebenarnya KLHS adalah suatu self
assessment untuk melihat sejauh mana Kebijakan, Rencana dan/atau Program
(KRP) yang diusulkan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah telah
mempertimbangkan prinsip pembangunan berkelanjutan, baik untuk kepentingan
ekonomi, dan sosial, selain lingkungan hidup. Dengan KLHS ini pula diharapkan
KRP yang dihasilkan dan ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah
menjadi lebih baik.
Partisipasi Publik
Sebuah komponen kunci dari proses perencanaan tata
ruang adalah partisipasi masyarakat. Meskipun telah terdapat Peraturan
Pemerintah nomor 68/2010 tentang bentuk dan tata cara peran masyarakat dalam
penataan ruang, namun Perpres ini oleh beberapa kritikus dianggap belum
diturunkan dan dirinci dalam aturan yang lebih teknis di tingkat
kementerian. Hal ini dikuatirkan akan berpengaruh terhadap implementasi
peran masyarakat dan perencanaan maupun pengendalian pemanfaatan ruang.
Disisi lain, peluang aspirasi masyarakat secara
teknokratik bottom up dilakukan dalam sebuah proses Musrembang
(Musyawarah Perencanaan Pembangunan), dalam proses ini pemangku kepentingan
pemerintah dan masyarakat berdiskusi dan mencapai kesepakatan tentang kebijakan
pengembangan masyarakat.
Pemerintah kabupaten/kota harus menggunakan hasil dari
proses musrenbang, bersama dengan rencana sektoral, untuk menghasilkan rencana
pembangunan daerah dan mengalokasikan sumber pendanaan untuk melaksanakan ini.
Rencana kabupaten kemudian dipertimbangkan dalam proses musrenbang tingkat
provinsi, hasil yang akan digunakan dalam rencana pembangunan provinsi, dan
selanjutnya proses anggaran nasional.
Untuk mendorong agar partisipasi publik dan masyarakat
meningkat, maka masyarakat harus mengetahui informasi terkait dengan rencana
pemerintah. Dalam hubungannya dengan tata kelola hutan dan lahan,
masyarakat secara khusus yang berbatasan dengan hutan, harus memiliki indormasi
kehutanan yang merupakan salah satu informasi penting yang seharusnya terbuka
untuk publik.
Dokumen dan lampiran peta Rencana Kerja Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK), Rencana Kerja Tahunan (RKT), SK
Penetapan Ijin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) beserta cap dan
tanda tangan Menteri Kehutanan, pada Hutan Tanaman (HT) dan Hutan Alam (HA);
dan dokumen Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) diatas 6.000 meter
kubik adalah beberapa informasi dasar yang sering dicari oleh para pemerhati
kehutanan, terutama bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya atas
keberadaan sumber daya hutan (FWI, 2014).
Hak warganegara untuk mendapatkan informasi (diluar
informasi penting dan rahasia), telah diatur dan merupakan inti dari
Undang-Undang nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Dalam
Undang-Undang ini setiap badan publik berkewajiban untuk membuka akses bagi
setiap pemohon warga negara maupun badan hukum di Indonesia untuk mendapatkan
akses informasi.
Perkecualian adalah untuk beberapa informasi yang
memang dikecualikan karena dapat membahayakan negara, perlindungan usaha dari
persaingan usaha tidak sehat, hak pribadi, rahasia jabatan, dan informasi
publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan oleh badan publik.
Sumber : http://www.mongabay.co.id/sistem-perencanaan-tata-ruang-di-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar