Kasus robohnya ruko di Samarinda,
Kalimantan Timur, belum lama ini mendapat perhatian serius dari Gabungan
Pengusaha Konstruksi Indonesia (Gapensi). Sekretaris Jenderal Gapensi
Andi Rukma Karumpa mengatakan, saat ini timnya tengah bekerja mengumpulkan
fakta-fakta lainnya di lapangan. Beberapa fakta awal menunjukkan, pelaksana proyek tersebut dilakukan oleh
individu dan tidak mampu menunjukkan bukti kompetensi sesuai Undang-Undang Jasa
Konstruksi Nomor 18 tahun 1999.
Yang mengejutkan adalah pelaksana
bangunan tersebut di kerjakan oleh perorangan yang tidak memiliki bukti
kompetensi yang di wujudkan dengan sertifikat keahlian,” papar Andi Rukman.
Atas temuan itu, Gapensi mendesak agar aparat bertindak tegas kepada pelaksana
proyek.
Menurut Undang-Undang RI No.18 tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi Bab I Pasal I yang berbunyi, pelaksana
konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan
ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan
kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan
atau bentuk fisik lain.
Pada Bab
III Pasal 8 yang berbunyi, perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan
pengawas konstruksi yang berbentuk badan usaha harus :
1. Memenuhi
ketentuan tentang perizinan usaha di bidang jasa konstruksi.
2. Memiliki
sertifikat, klasifikasi, dan kualifikasi perusahaan jasa konstruksi.
Dan pada
pasal 9 berbunyi :
1. Perencana
konstruksi dan pengawas konstruksi orang perseorangan harus memiliki sertifikat
keahlian.
2. Pelaksana
konstruksi orang perseorangan harus memiliki sertifikat keterampilan kerja dan sertifikat
keahlian kerja.
3. Orang
perseorangan yang dipekerjakan oleh badan usaha sebagai perencana konstruksi atau
pengawas konstruksi atau tenaga tertentu dalam badan usaha pelaksana konstruksi
harus memiliki sertifikat keahlian.
4. Tenaga
kerja yang melaksanakan pekerjaan keteknikan yang bekerja pada pelaksana konstruksi
harus memiliki sertifikat keterampilan dan keahlian kerja.
Sebelumnya, Kepolisian Kota Samarinda,
Kalimantan Timur, masih memeriksa 12 orang saksi kasus robohnya sebuah ruko di Samarinda,
pada Selasa lalu. Saksi yang telah diperiksa ialah buruh, tukang, pemborong,
dan pengawas bangunan. Namun, penyidik belum menetapkan satupun tersangka.
Penyidik
tengah memanggil pemilik perusahaan kontraktor PT.Firma Abadi yang beralamat di
perumahan Galaxy Bumi Megah Blok E6/17, Surabaya, Jawa Timur. Pada hari yang
sama, penyidik juga menjadwalkan memeriksa pemilik bangunan, Yuliansyah
Ghazali.
Menurut
Undang-Undang RI No.18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi Bab VI Pasal 26 yang berbunyi :
1. Jika terjadi kegagalan bangunan yang
disebabkan karena kesalahan perencana atau pengawas konstruksi, dan hal
tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka perencana atau
pengawas konstruksi wajib bertanggung jawab sesuai dengan bidang profesi dan dikenakan
ganti rugi.
2. Jika terjadi kegagalan bangunan yang
disebabkan karena kesalahan pelaksana konstruksi dan hal tersebut terbukti
menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka pelaksana konstruksi wajib bertanggung
jawab sesuai dengan bidang usaha dan dikenakan ganti rugi.
Hingga kini
sudah terdapat tujuh korban meninggal dunia yang berhasil dievakuasi dari
reruntuhan bangunan. Diduga tersisa lima korban lagi yang masih tertimbun
puing-puing bangunan. Korban Tewas yang sudah ditemukan adalah empat orang asal
Trenggalek, Jawa Timur, yaitu Kasiran, 50 tahun, Kadori, 35 tahun, Abdul
Makrub, 29 tahun, Sugiyanto, 25 tahun, serta tiga orang asal Ponorogo,
masing-masing ialah Sujarwo, 45 tahun, Surani, 29 tahun, dan Toyo, 45 tahun.
Menurut Undang-Undang RI No.18 tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi Bab X Pasal 41 yang berbunyi, Penyelenggara pekerjaan konstruksi dapat dikenai sanksi administratif
dan/atau pidana atas pelanggaran Undang-undang ini.
Dan Pasal 42 yang berbunyi :
1. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 yang dapat dikenakan kepada penyedia jasa berupa :
a)
peringatan tertulis;
b)
penghentian sementara pekerjaan konstruksi;
c)
pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi;
d)
pembekuan izin usaha dan/atau profesi;
e)
pencabutan izin usaha dan/atau profesi.
2. Sanksi adm inistratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 yang dapat dikenakan kepada pengguna jasa berupa :
a)
peringatan tertulis;
b)
penghentian sementara pekerjaan konstruksi;
c)
pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi;
d)
larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan
konstruksi;
e)
pembekuan izin pelaksanaan pekerjaan konstruksi;
f)
pencabutan izin pelaksanaan pekerjaan
konstruksi.
3. Ketentuan mengenai tata laksana dan penerapan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Dan Pasal
43 yang berbunyi :
1. Barang siapa yang melakukan perencanaan
pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan
kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling
lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per
seratus) dari nilai kontrak.
2. Barang siapa yang melakukan pelaksanaan
pekerjaan konstruksi yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan
keteknikan yang telah ditetapkan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan
konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara
atau dikenakan denda paling banyak 5% (lima per seratus) dari nilai kontrak.
3. Barang siapa yang melakukan pengawasan
pelaksanaan pekerjaan konstruksi dengan sengaja memberi kesempatan kepada orang
lain yang melaksanakan pekerjaan konstruksi melakukan penyimpangan terhadap
ketentuan keteknikan dan menyebabkan timbulnya kegagalan pekerjaan konstruksi
atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau
dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar